Senin, 12 September 2016

CHAPTER 3 - Mandiri Sebagai Perempuan Tunarungu

SEMPURNA
Don’t wait the perfect moment, take the moment and make it perfect
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

CHAPTER 3
Mandiri Sebagai Perempuan Tunarungu

Definisi mandiri yang diajarkan orangtuaku adalah tidak bergantung dengan orang lain. Berusaha mungkin untuk melakukan segala hal tanpa harus merepotkan orang lain.

Hingga sekarang, aku masih menjalankan pesan dari orangtua. Seperti apa didikan mereka?

Lesson of Mama! DISCIPLINE



Tidak ada toleransi mengenai hal ini. Secara tegas, mama mengajarkan aku harus mematuhi peraturannya dan harus dijalankan dengan sedisplin mungkin.

1.    Waktu
Jam tangan adalah benda wajib sedari aku kecil hingga sekarang. Fungsinya adalah harus menghargai dan membagi waktu selama 24 jam. Jam berapa harus bangun, segera mandi, membersihkan tempat tidur, harus sarapan, harus sopan saat pamit keluar dari rumah, tidak boleh terlambat sekolah, pulang sekolah harus segera pulang, tidur siang, les tambahan, mandi sore, bermain sebentar, sebelum maghrib harus sudah didalam rumah, makan, nonton tv, dan jam tidur juga musti rutin.

Dan setiap ada kegiatan diluar rumah, harus dikomunikasikan dan musti jujur.

2.    Uang
Yup! Uang yang dikasih untuk jajan. Tapi mama mengajarkan aku untuk menggunakan uang seteliti mungkin, seperti:
Pada Saat jaman sekolah,
-       10 % tabung
-       5 % disumbangkan
-       85% digunakan

Pada saat sekarang, 50 : 30 : 20, yakni:
-       50 % pengeluaran wajib (Kebutuhan sehari-hari, tagihan, sumbangan, dll)
-       30 % Pengeluaran tambahan (acara keluarga, diri sendiri, anak)
-       20 % Pengeluaran untuk investasi & tabungan,

3.    Etika
Etika itu termasuk disiplin juga. Membiasakan untuk bilang Maaf, Tolong, dan Terima Kasih. Berlaku untuk siapapun, kapanpun, dam dalam keadaan apapun.

4.    Ilmu Pengetahuan
Belajar itu wajib hukumnya. Caranya, selain dari sekolah adalah Baca! Membaca semua tulisan, seperti Koran, majalah, buku, gadget, dan lain sebagainya. Segala tulisan adalah bentuk informasi, jadi wajib untuk mencari informasi dari membaca.



5.    Pengalaman
Mama bukan tipe yang posesif, yang segala sesuatunya dilarang. Kita akan menjadi bijak dengan pengalaman yang dimiliki, aku termasuk yang aktif dalam kegiata dan banyak hal yang ingin aku pelajari. Jika suatu saat melakukan kesalahan, aku tidak terlalu takut karena pasti selalu ada jalan untuk memperbaikinya. Hidup sebaiknya selalu berjalan seimbang, sehingga membuat kita menikmati setiap moment pengalaman yang kita miliki.



6.    Penampilan
Nah! Kebanyakan orang mengatakan, “Don’t Judge by the cover!”. Kenyataannya adalah penampilan kita bisa dinilai bagaimana diri kita yang sebenarnya & bagaimana orang lain memperlakukan kita. Jaman sekarang, kalo kita gembel, siapay yang percaya dengan diri kita? Maka dari itu, aku selalu berusaha mungkin rapi. Tidak harus mahal, tapi enak dipandang dan nyaman dengan diri sendiri. Make up, hair do, berpakaian sesuai dengan kepentingan. Dan kita juga jangan lupa, menghargai siapapun yang hendak kita temui di berbagai acara.



7.    Makan & Minum
Hal ini pasti dianggap sepele, tapi mama selalu mendisiplinkan bagaimana cara makan dan minum bahkan ditempat umum. Makana  dan minuman apa saja yang dikonsumsi oleh tubuh.

Misalnya, seperti makan itu harus duduk dimeja makan, tidak boleh mengunyah dengan berisik. Jam makan wajib rutin 3x sehari, jam7 pagi, jam 12 siang, jam7 malam. Sejujurnya aku jarang ngemil. Udah merasa terdoktrin, perempuan itu harus bisa menjaga badan ;p sampai sekarang pun apapun yang hendak dimasukkan ke tubuh musti pikirkan untuk segi kesehatan dan yang berpengaruh ke berat badan.

Seperti itulah kedisiplinan yang diajarkan oleh orangtuaku, dan berlaku sampai sekarang, dan tentunya juga akan seterusnya sampai ke anakku.

Sikap kita adalah perbuatan yang sederhana, namun akan bisa membuat perubahan yang besar.

 


Aku berterima kasih kepada mamaku yang telah menjadikan aku seperti saat ini. Aku bisa menjadi perempuan yang tegar dan tangguh. Disiplin yang tinggi, membuat aku terlatih menajdi mandiri dalam beragam hal.

Bagaimana dengan didikan dari Bapak? : Mensyukuri Waktu dan Umur.


Hal yang paling aku ingat adalah didikannya untuk terus berjuang dan menajlankan hidup sesuai dengan “timeline” kehidupan, sehingga kita bisa lebih menghargai umur.

Ajarannya seperti ini:
Kehidupan kita yang sesungguhnya dimulai dari usia 20 tahun, maka :
The Milestone of Life-nya adalah,
-       Sebelum umur 25 : Harus sudah lulus kuliah.
-       Sebelum umur 30 : Sudah menikah.
-       Sebelum umur 35 : sudah punya mobil.
-       Sebelum umur 40 : sudah puna rumah.
-       Sebelum umur 45 : sudah mapan dalam karir.
-       Sebelum umur 50 : sudah menunaikan Ibadah Haji.
-       Menjelang umur 60 : Menikmati kehidupan dengan anak dan cucu.

Itu yang menjadi pemicu semangat aku tetap bertahan dalam hidup, disamping itu aku menambahkan “perjanjian” dengan diri sendiri bahwa setiap tahun aku harus bisa menghasilkan sesuatu. 
Seperti ini yang aku lakukan:

-      2008 : Abang None Jakarta Barat & The Most Fearless Female by Cosmopolitan Indonesia

-       2009 : Lulus S1 jurusan advertising communication

-  2010 : Lulus S2 jurusan Marketing Communication, Ke Thailand sebagai perwakilan Indonesia untuk Exchange Program disabilitas secara Asia, di terima kerja di Multinational company yaitu IBM Indonesia.

-     2011 : Perwakilan Indonesia ke Strasbourg, france, Europe. Gratis! Exchange program mengenai disabilitas secara budaya eropa. Dan mendirikan Thisable Enterprise, sebagai social enterprise.

-    2012 : Menerbitkan sebuah Buku ‘Perempuan Tunarungu Menembus Batas’ beserta respon masyarakat yang sangat bagus sekali.

-   2013 : Menginisiasi event pertama ‘Thisable Festival’ sebagai event inklusi menggabungan disabilitas dan non disabilitas become one together diatas panggung. & Menerbitkan buku ke-2 yang berjudul ‘Setinggi Langit’ bekerja sama dengan L’oreal Indonesia.

-    2014 : Menikah & Hamil. Dan menerima Penghargaan, The winner of Social Enterpreneur of the year for category community development by Ernst&Young.

-     2015 : Melahirkan seorang bayi perempuan & Perwakilan Indonesia ke Amerika Serikat, melalui program International Visitor Leadeship Program mengenai isu Disabilitas secara global.

-       2016 : on going new program of Thisable Enterpise, Pemberdayaan ekonomi kreatif untuk disabilitas . (nanti akan kita bahas di bab lain ya) & meriliskam short movie di youtube channel 'unveil your masterpiece' 

  Jangan iri dengan keberhasilan orang lain, karena kita tidak mengetahui apa yang telah dikorbankan untuk mencapai keberhasilan.





















================================================================

Chapter 4 nanti Saku akan bahas mengenai bagaimana step by step membangun kepercayaan diri :) 

Kamis, 08 September 2016

Chapter 2 - Pendidikan Sebagai Bekal Untuk Menggapai Masa Depan

SEMPURNA
Don’t wait the perfect moment, take the moment and make it perfect.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

CHAPTER 2 
PENDIDIKAN SEBAGAI BEKAL UNTUK MENGGAPAI MASA DEPAN

Yang dikhawatirkan adalah tentu saja bagaimana aku bisa mengikuti pelajaran disekolah? Tidak harus mendapatkan ranking 10 besar. Tetapi setidaknya jangan sampai tertinggal kelas. Itu pesan mamaku.

Orangtuaku berfikir sangat keras, karena ada yang merekomendasikan agar aku pindah ke Sekolah Luar Biasa, alasannya agar aku mendapatkan penanganan sesuai keadaanku.

Mama menolak, karena menurut pandangannya, manusia itu tidak ada yang berbeda, semuanya sama saja.yang berbeda adalah tujuan hidupnya. Tujuan mamaku saat itu adalah aku berhak mendapatkan pendidikan yang sama, teman yang sama, kesempatan yang sama, agar kedepannya aku menjadi perempuan mandiri tanpa harus saling membedakan. Akhirnya, mama mempertahankan aku sekolah di sekolah umum dengan segala resiko.

Solusi agar aku tidak ketinggalan pelajaran dan harus tetap naik kelas adalah harus belajar lebih ekstra dibandingkan teman lainnya!.

Maka dari itu, aku harus mendapatkan pelajaran tambahan setiap pulang sekolah dengan guru private yang dipanggil kerumah. Maksudnya agar aku tetap bisa mempelajari apa yang diajarkan disekolah dan mempersiapkan mata pelajaran berikutnya.

Supaya tidak bosan, mama emcoba kreatif setiap hari. Jadwal seminggu full, menggabungkan kursus pelajaran formal dengan apa yang aku suka, yang penting kelak akan berguna saat aku dewasa.

Aku masih ingat jadwal yang super padat pada waktu itu,:
  • -       Senin : Les private (matematika, sejarah, dan teman-temannya)
  • -       Selasa : Sanggar tari (yup! Aku suka sekali menari)
  • -       Rabu : Les Private (lagi!)
  • -    Kamis : Menari modern & daerah (walaupun tidak bisa mendengar lyric tapi aku menikmati alunan musik)
  • -      Jumat : Ngaji
  • -      Sabtu : Boleh main kemana saja dengan teman-teman
  • -       Minggu : Istirahat.


Booo! Padet juga ya. Mama sengaja dengan jadwal seperti itu. Supaya aku tumbuh menjadi anak yang aktif. Itu kelihatan sekali hasilnya hingga sekarang. Aku terbiasa mengatur jadwal. Saking sibuknya, aku justru jadi lebih berkurang komplain mengenai keterbatasan mendengarku dengan diisi hal-hal yag bermanfaat.

Kita akan menjadi lebih pintar dengan membaa buku, tetapi kita akan menjadi lebih bijak dengan pengalaman yang kita punya.



Saat SMP & SMA, aku upgrade kursusnya dengan bahasa inggris, walaupun sulit di ‘listening & conversation skill’, tapi aku belajar grammar, suapaya bisa mendukung mata pelajaran disekolah. Itu karena semata-mata aku takut jika tidak naik kelas, kebayang kan malunya kalau sampai terjadi. Demi menghindar anggapan negatif orang menegnai aku, sudah tidak bisa mendengar, jadi jangan ditambah tidak bisa apa-apa hanya karena tidak naik kelas.

Disaat teman-teman lainnya bisa puas bermain, tidak begitu denganku. Aku harus melanjutkan belajar. Effort yang gak sedikit demi lulus dan membanggakan diri sendiri serta orangtua.

Terbukti, tidak ada hasil yang mengkhianati usaha. Aku naik kelas terus dan lulus sekolah dari TK – SD – SMP – SMA. Bagaimana dengan kuliah?


Saat menjelang masuk ke perguruan tinggi, aku mendadak bimbang. Karena, aku pada saat itu tidak punya mimpi yang sepsifikk demi masa depan. Aku tidak punya bayangan apapun, karena keterbatasan yang aku miliki aku merasa lebih terbatas juga dalam menggapai mimpi.

Dulu ya saat aku kecil, aku pernah berangan-angan menjadi sosok perempuan yang elegan, menggunakan heels, blazer, berjalan anggun, dan duduk dikursi yang empuk tentunya kursinya bisa berputar-putar.


Setelah dipikir-pikir, jikalau angan-angan seperti itu. Jadi apa ya? Jelas perempuan bekerja! Iya bekerja!. Caranya gimana? Ya, tentu saja sekolah setimggi yang aku mampu.

Tidak ada sedikitpun rencana matang aku menyampaikan keinginan untuk mengambil kuliah jurusan komunikasi. Keputusan yang sangat kontradiktif sekali, karena ‘sudah tau tidak bisa mendengar & memilih kuliah komunikasi?’ tidak ada yang mendukungku pada saat itu.

Sebenarnya, alasan aku memilih komunikasi bukan cita-cita, bukan juga dorongan dari siapapun. Tapiiiiiiii, karena aku tidak ingin ketemu matematika dan teman-temannya yang berhitung dengan angka ;p hehehe aku nyerah, merasa bukan bakatku disitu.
Memasuki perguruan tinggi ternyata butuh usaha, mengikuti tes di beberapa perguruan tinggi ternama, selalu seperti itu. Dari sekian banyaknya aku tes, interview, dan beberapa yang lolos. Aku memilih ‘the London School of Public relations’ berdasarkan rekomendasi teman-teman Bapakku yang mengatakan sekolah komunikasi swasta yang bagus dijakarta.

Awalnya takut, sulit. Tapi ternyata secara perlahan. Aku menikmatinya. Lingkungan baru, teman abru, pelajaran baru, pengajar baru, dan segala macamnya baru yang membuat aku menikmatinya.

Dari sekolah komunikasi ini ternyata banyak sekali ilmu yang aku peroleh, justru dimulai dari sini, jalan terbuka untukku terbuka. Kembali dingat-ingat lagi mengenai pelajaran yang bermanfaat buatku.

BELAJAR TENTANG PERSONAL BRANDING



Suatu ketika, saat pelajaran usai, aku mendatangi seorang dosen yang sedang membereskan perlengkapannya dan hendak meninggalkan kelas. Aku buru-buru menghampiri beliau.

“Bu..Ibu..hmmm bolehkah aku berdiskusi?’ tanyaku sambil berlari

tanpa direncakan, tanpa diduga aku malah gak kuat menahan air mata. Aku menangis. Ibu dosenpun bingung.

“Ada apa nak? Kamu baik-baik saja? Kenapa kamu menangis?”, beliau bertanya dengan heran.

Perlahan aku mulai menjelaskan, “Aku..aku gak sanggup bu. Mengikuti mata kuliaiih Iby dan tugas yang Ibu berikan, seperti berpidato didepan kelas. Berat bu, sangat berat. Bolehkah saya ijin untuk tidak mengikutinya?”

“Kamu kenapa?kalau kamu tidak mengikuti tugas itu, kamju tidak akan mendapatkan nilai, dan tentu saja kamu akan gagal dimata kuliah saya ini”, pernyataan beliau ini justru membuatku semakin takut.

“Bu.. aku trauma. Karena pernah dianggap dan dipandang hina oleh banyak orang, karena…. Karenaaa itu karena saya tidak bisa mendengar. Saya memiliki masalah pendengaran.” ujarku lirih sambil menunjukkan alat Bantu dengar dari kedua telinga. Sesaat kemudian, airmataku semakin deras mengalir membasahi pipi, karena untuk membicarakan seperti ini  butuh keberanian sangat besar.



Mendengar penjelasanku, beliau hanya tersenyum dan dengan tenang, “ Angkie, kenapa kamu harus malu? Tunjukkan saja kepada orang lain. Jujur kepada orang banyak, termasuk teman-temanmu. Siapa kamu sebenarnya, dan apa yang terjadi denganmu. Jangan malu”.

“kenapa harus jujur bu? Apakah tidak apa? Nanti kalau saya semakin dihina bagaimana?”.

“kalau kamu percaya dengan diri kamu sendiri, saya yakin mereka akan memberikan apresiasi atas usaha kejujuran kamu”.

Dengen percakapan ini, aku diam seribu bahasa. Ternganga. Bagaimana mungkin aku bisa mengumpulkan keberanianku, mengatakan yang sebenarnya di depan kelas. Aku malu.

Tidak lama kemudian, dosenku menambahkan “Tidak ada salahnya jika kamu mau mencoba. Kamu bisa berlatih didepan cermin. Latih bicara kamu, bagaimana bahasa tubuhmu, tatapan matamu saat memandang sudiences. Saya yakin kamu bisa. Kamu hanya harus emmeprcayai dirimu”.

Sekejab aku mendapatkan pencerahan. Suntikan semangat. Orang lain saja percaya dengan diriku, kenapa aku tidak? Itu karena aku terlalu takut untuk melawan ketakutan dalam diri aku, maka aku harus bisa. Harus bisa. Harus bisa.

Seminggu kemudian, aku mengikuti tips dan trik dari Ibu dosenku itu. Saat namaku dipanggil, aku sempat gemeteran, ketakutan, tapi aku coba untuk menenangkan diri dengan meengatur napas dan memegang (bahkan menggengam) pulpen dengan keras. Tapi justru itu sangat membantu.

“Assalamualaikum wr.wb.. Selamat siang semua. Perkenalkan saya angkie yudistia, sebelum saya melanjutkan pidato ini. Ada yang ingin saya sampaikan bahwa sebenarnhya saya memiliki keterbatsan mendengar. Sehingga saya harus menggunakan alat Bantu dengar. Hari ini saya akan menjelaskan tugas kita…… bla …. Bla… bla… bla…bla… demikian saya sampaikan dan saya ucapkan terima kasih banyak. Walaikumsalam wr.wb”.

Kelas memang mendadak hening, bengong, tapi tidak lama kemudian… tepuk tangan meriah yang aku dapatkan!.

Aku tersenyum. Ketakutanku terbukti salah. Ibu Dosen benar. Orang lain akan mengapresiasikan kejujuran kita, ketika kita sendiri sudah ikhlas menerima keadaan diri kita apa adanya. Dari jauh eku melihat Ibu Dosenku, beliau ternsenyum dan semabari tepuk tangan. Aku lalu menghampirinya, menyalaminya, dan mengucapkan “Ibu, terima Kasih banyak”.

Hari demi hari, aku semakin percaya diri dengan mengungkapkan jati diri yang sebenarnya. Semakin banyak orang mengetahui keadaanku,

“oh, Angkie yang tunarungu”
“Angkie yang tidak bisa mendengar”

Bukan sesuatu yang buruk, tapi aku menyukainya. Karena teman-temanku semakin banyak. Lalu, hal itu yang membuatku merasa ingin menciptakan Personal Branding yang lebih bagus lagi. Aku berfikir tentang “oh, Angkie yudistia, yang tunarungu itu, lulusan S2 komunikasi “. Gimana? Menarik gak dengan pernyataan itu?.

Maka, ketika di kampus ada program akselerasi S2 yakni, program percepatan S1& S2 selama 5 thun saja. Aku langsung ambil. Ikut testnya, dan lolos! Syaratnya adalah IPK minimal 3,00. Aku lihat IPK ku adalah 3,50 jadi amaaaannn ya.

Berat gak menjalani itu? Saat semester 7 di S1, aku harus mulai kuliah S2. TENTU SAJA SANGAT BERAT. Apalagi waktu kayaknya gak habis-habis diisi dengan perkuliahan. Aku menikmatinya, karena ini juga didikan mamaku, dari SD aku terbiasa dengan mengatur jadwal padat, jadi saat kuliah aku jadi terbiasa.

Berani mengambil keputusan jangan setengah-setengah, jadi harus dijalani sampai akhir. Pada waktu wisuda S1 pada tahun 2009 dan tahun berikutnya 2010 aku wisuda S2. Mama, Bapak tidak pernah absen mengantarkan aku. Walaupun bukan luluasan terbaik, tapi aku berhasil. Aku bahagia, telah berjanji tidak menyerah disaat kesulitan.

Terwujud sudah keinginan Personal Brandingku,
Angkie Yudistia. Seorang Tunarungu. Lulusan S2 dari Marketing Communication.




…………..


Chapter 3 Berikutnya aku akan bahas mengenai pertempuran hidup menggapai mimpi yang sesungguhnya dan melewati banyak hal untuk bisa mandiri secara finansial walaupun terbatas. Ditunggu ya 

CHAPTER 1 - Everybody here has a problem, noboday here is perfect

SEMPURNA
Don’t wait the perfect moment, take the moment and make it perfect.
-----------------------------------------------------------------------------------


CHAPTER 1
Everybody here has a problem, noboday here is perfect

Menulis menjadi hal yang menyenangkan buatku. Yup! Sebelum tulisan ini diketik, aku menulisnya terlebih dahulu dengan sebuah pulpen favorit dan sebuah buku. Hal ini aku lakukan untuk mencari arti kesempurnaan. Tiap moment yang aku lewati, tiap emosi yang aku rasakan, itu semua bisa menjadi inspirasi aku.

Aku mengingat dengan jelas bagaimana aku memulai semuanya, hingga bisa menjadi seperti saat ini. Seorang Angkie Yudistia, sebagai perempuan tunarungu menembus batas, seperti judul buku pertamaku waktu 2011.

Aku pernah menjadi manusia normal seutuhnya, dengan kesempurnaan indera. Tanpa harus merasa menanggung malu. Menjadi anak yang selalu mendapatkan kasih sayang dari keluarga dan lingkungan sekitar.

Hingga pada suatu hari, diumurku yang 10 tahun entah mengapa setiap hari aku selalu menjadi pusat kemarahan guru dikelas. Itu karena aku tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Aku merasa bingung dan merasa sangat bodoh karena tidak bisa menjawab pertanyaan itu, misalnya pertanyaan matematika, pengetahuan umum, dan masih banyak pertanyaan lainnya.

Dan saat itu juga, gelak tawa seisi kelas masih sangat membekas dibenakku. Tidak pernah sekalipun aku dibela baik oleh guru bahkan teman-teman. Sampailah pada saat orangtuaku dipanggil untuk menghadap wali kelas dan kepala sekolah.

“Ibu, mohon diketahui bahwa sepertinya anak ibu memiliki permasalahan dengan pelajarannya. Tidak bisa menyimak dan mengerti dengan cepat apa yang saya sampaikan dikelas’, begitulah laporan seorang wali kelas.

Sebagai seorang ibu yang merasa dirinya selalu menjaga dan mengasuuh anak dengan sangat hati-hati, tentu saja dijawab dengan yakin.

“Selama ini, anak saya baik-baik saja Pak!. Tidak mungkin anak saya tidak bisa mengikuti pelajaran!”. Bela mamaku.

“Coba ibu tambahkan waktu belajar dirumah dan anak ibu lebih intens berkomunikasi” saran dari kepala sekolah.


Mama hanya terdiam dan tidak bisa menjawab lagi. Pikirannya terlalu sibuk, apa yang terjadi denganku. Dan harus mencari jawaban dengan keganjilan ini.

Mama adalah sosok wanita yang tegar menurutku. Tidak menganggap segala sesuatu dengan panik. Jadi, sesampai dirumahpun mama tidak menanyakan apapun kepadaku.

Tapi, seingatku dulu aku pernah menyampaikan beberpa kalimat curhat ke beliau, “Ma, aku selalu dimarahin guruku hampir setiap hari. Katanya aku selalu tidak bisa mengikuti pelajaran dikelas”.

Sontak mama langsung kaget!. Karena apa yang dibicarkaan guru dan kepala sekolah, sama dengan apa yang dirasakan aku. Sama persis.




Mulai Mencari Tahu

Hari-hari terus berlalu, keadaan mulai semakin tidak membaik. Aku menjadi sosok yang pemarah. Gak tau kenapa. Dan bahkan beberapa kali pernah kepergok menangis. Setiap ditanya, akupun sendiri tidak memiliki jawaban, karena akupun tidak pernah mengerti apa yang sedang terjadi dengan diriku sendiri.

Aku ingat sekali, setiap hari minggu adalah hari favoritku, dimana banyak film favorit ditayangkan di TV. Aku menyukai film “Candy” (anak generasi 90-an pasti tau ya!). aku selalu bernyanyi sendiri pada saat film itu dimulai. Tapi, pada satu hari aku meminta tolong mama untuk dituliskan lyric lagu-nya disebuah kertas, akupun langsung menyodorkan sebuah pensil dan kertas ke mama. Tapi ternyata mama tidak meng-iyakan!. Aku kesal, dan merebut kembali pensil dan kertas itu untuk aku menulis sendiri saja.

Tetapi, hati ini terasa sesak, aku memang bisa mengikuti nada, tapi aku tidakbisa mengikuti lyric-nya. Seketika aku berteriak! Kesal! Menjerit! Menangis!. Hingga mama dan seisi rumah kaget, karena aku tidak seperti biasanya.

Saat ditanya, aku menjawab “Kan  aku tadi meminta tolong mama! Minta tolong mama untuk dituliskan lagunya Candy. Tapi mama gak mau nolong aku! Aku coba nulis sendiri, tapi aku gak bisa, mama! Aku tidak tau apa yang dinyanyikan di film itu!” sambil berlinang airmata, aku mencoba menjelaskan.

Mamaku bingung. Ada yang salah dengan anaknya. Tapi apa?, kenapa?, bagaimana bisa?, apa yang harus dilakukan?, harus kemana?.

Diusiaku 10 tahun, duduk dikelas 4 SD. Seharusnya masa-masa itu adalah masa menyenangkan untuk anak-anak berseragam merah putih. Aku justru kebalikannya, hidupku merasa berubah. Berubah yang tidak pernah tau apa yang sedang terjadi.

Begitupun dengan Bapakku, yang mencoba memanggilku. Tapi tidak merespon. Sama sekali tidak.

………..

Pada saat itu, sekitar tahun 1997-an, Hp dan internet tidak semudah sekarang. Jadi satu-satunya mencari informasi adalah dengan mencoba mencari informasi dengan telepon saudara-saudari untuk bertanya, membaca Koran, dan mencari informasi dari TV.

Orangtuaku memutuskan untuk membawa ke dokter THT hasil dari mendapatkan informasi yang aku jelaskan sebelumnya. Dulu, rumah sakit St. Corolus - Jakarta adalah rumah sakit yang paling bagus. Maka, telingaku diperiksa dengan audiogram, yakni sebuah alat untuk mengecek pendengaran. Setelah itu ada tes pendengaran manual dengan mengikuti apa yang dokter katakan.

Dokter itu mulai mengucapkan kata-kata dan aku harus mengikutinya, seperti:
'Kucing',
'Kelelawar',
'Sekolah',
'Rumah',
'Sepatu',
'Pohon'.

Mataku berkaca-kaca, ga ada satupun kata yang bisa diucapkan kembali olehku. Aku menahan nangis, kenapa bisa begini?

Lalu, hasilnya?

Dokter mengatakan bahwa aku memiliki masalah pendengaran. Untuk yang mengerti hasil audiogram, dimana level pendengaran normal sekitar 0-40 desible. Dan saat pertama kali di cek, pendengaranku di level 70db untuk kiri dan 69db untuk kanan. Yang artinya aku mengalami masalah pendengaran yang walaupun belum terlalu parah dan masih mendengar beberapa suara di level tertentu.
(for our information, itu tahun 97 dan sekarang tahun 2016 level pendengaran aku sudah 100 db untuk masing-masing telinga, dan mengalami tuli berat).


Air mata mamaku berlinang, Bapakku menenangkan, aku? Masih tetap bingung. Lagi-lagi tidak tau apa yang sedang terjadi.

Dokter menyarankan aku untuk menggunakan alat Bantu dengar, dengan tujuan agar bisa memaksimalkan suara-suara sekitar dan menjaga agar syarafku tetap selalu bergetar agar desible nya tidak semakin parah.

Alat itu memang langsung dibelikan orangtuaku. Apakah aku memakainya?  TIDAK! Karena aku MALU! Aku harus bilang apa saat ditanya orang? Aku benar-benar tidak siap!


.........


NEXT TO : CHAPTER 2 - PENDIDIKAN SEBAGAI BEKAL UNTUK MENGGAPAI MASA DEPAN